Minggu, 29 Desember 2013

Contoh Kasus Organisasi



Assalamualaikum wr.wb
Setelah sebelumnya saya memposting mengenai konflik organisasi. Maka pada postingan kali ini, saya akan memberikan contoh kasus dari organisasi yang sebelumnya ingin saya buat yaitu berupa organisasi mengenai perlindungan hewan. Postingan ini dibuat untuk memenuhi tugas kampus dalam bagian softskill, jadi postingan ini berisi tulisan mengenai pendapat dan pemikiran saya. Sebelumnya, saya akan sedikit menjelaskan kembali mengenai konflik.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah mengenai ciri fisik, pengetahuan, kepandaian, adat istiadat, keyakinan dan lain sebagainya. Konflik merupakan situasi yang wajar dalam masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Jenis-jenis konflik dapat dilihat dari fungsinya, pihak yang terlibat di dalamnya, serta posisi seseorang dalam struktur organisasi tersebut. Sementara sumber-sumber konflik dapat diakibatkan karena adanya perbedaan individu, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, serta perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Kemudian saya akan coba memberikan contoh kasus konflik yang dapat terjadi dalam suatu organisasi yang ingin saya buat sebelumnya yaitu organisasi mengenai perlindungan hewan. Seperti yang telah saya jabarkan mengenai organisasi ini pada postingan yang bersangkutan, diketahui bahwa organisasi ini merupakan organisasi dengan tujuan untuk memberikan tempat, melindungi serta merawat hewan-hewan dari yang hampir punah hingga yang jumlahnya masih cukup banyak. Dalam organisasi ini dapat terjadi beberapa konflik yang memungkinkan, salah satunya adalah mengenai perbedaan pendapat antara masyarakat khususnya orang-orang yang bermata pencarian sebagai nelayan atau peternak atau pengusaha tertentu dengan pihak organisasi perlindungan hewan tersebut. Misalkan dalam organisasi mementingkan pelestarian serta perlindungan hewan yang keberadaannya semakin sedikit dengan mencegah penangkapan hewan-hewan tersebuut, namun disisi lain pihak masyarakat tertentu menentang karena pendapatan mereka bergantung pada hewan-hewan tersebut. Seperti berita yang sempat muncul, yaitu mengenai penangkapan ikan hiu yang kian hari semakin sedikit jumlahnya. Pihak organisasi pastilah akan melakukan pencegahan terhadap penangkapan tersebut, sementara para nelayan yang bersangkutan pun pasti akan melakukan perlawanan karena dari penangkapan itulah mereka mendapatkan penghasilan untuk kehidupan sehari-hari.
Maka pada situasi seperti itulah terjadi konflik disfungsional yaitu konflik yang merintangi pencapaian tujuan dari suatu organisasi. Dalam hal ini, para nelayan tersebut merintangi pencapaian tujuan organisasi perlindungan hewan yang bertujuan untuk melestarikan hewan yang jumlahnya sudah tidak banyak. Dapat juga disebut sebagai konflik antar organisasi dengan masyarakat dimana kegiatan pihak organisasi menimbulkan dampak negatif bagi pihak masyarakat, begitu pula sebaliknya. Sementara itu, situasi seperti ini dapat dikatakan konflik yang bersumber dari perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, dimana para nelayan membutuhkan penghasilan sementara pihak organisasi harus memenuhi tujuan organisasi tersebut.
Untuk contoh konflik seperti yang terjadi di atas, penyelesaiannya dapat menggunakan strategi kompromi atau negoisasi. Dengan cara pihak organisasi memberikan atau menawarkan suatu pekerjaan lain yang dalam sisi penghasilan serta kesulitannya tidak jauh berbeda dengan pekerjaan sebelumnya. Strategi tersebut dapat dibarengi dengan pengarahan terhadap para konsumen hiu untuk meminimalkan atau tidak lagi mengkonsumsi hiu yang jumlahnya hampir punah ini, sehingga akan berdampak dengan berkurangnya peminat hiu tersebut yang pada akhirnya para nelayan pun dapat beralih profesi. Pihak organisasi juga dapat bernegoisasi agar para nelayan tersebut dapat meminimalisir atau tidak serakah dalam melakukan kegiatan penangkapan, sehingga hiu-hiu tersebut memiliki waktu untuk berkembang biak dan dapat terus menghasilkan keturunan agar spesiesnya tidak habis. 
Strategi penyelesaian konflik tersebut juga dapat dilakukan dengan kolaborasi antara kedua pihak, misalnya dengan mendirikan tempat penangkaran hiu, dimana pihak organisasi dapat berperan dalam merawat dan melestarikan hiu tersebut sementara pihak nelayan dapat tetap menangkap hiu dengan syarat untuk tidak mengambil terlalu banyak dan untuk melakukan panen secara berkala yang dapat meminimalisir kematian hiu untuk keperluan konsumsi. Dalam hal ini, pihak organisasi dapat tetap melestarikan jenis hiu tersebut dan pihak nelayan dapat tetap mendapatkan penghasilan meskipun tidak sebanyak sebelumnya, namun hal itu dapat ditutupi dengan mencari pekerjaan lain yang dapat disarankan oleh pihak organisasi. Kenapa pihak organisasi yang harus bertanggung jawab dalam pencarian pekerjaan lain untuk para nelayan? Sebenarnya tidak diwajibkan hal itu menjadi tanggung jawab pihak organisasi, namun akan lebih baik jika pihak organisasi juga ikut membantu karena secara langsung ataupun tidak, pihak organisasi merupakan salah satu yang menyebabkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan para nelayan demi mencapai tujuan organisasi tersebut. Maka disinilah harus diadakan kesepakatan antara kedua pihak untuk saling membantu sehingga dapat meminimalisir penghambatan dalam masing-masing tujuan dari kedua pihak.
Sekian penjabaran saya mengenai contoh kasus atau konflik yang terjadi dalam suatu organisasi beserta solusi yang mungkin dapat berguna. Mohon maaf bila adanya kesalahan dalam tulisan saya yang dapat menyinggung beberapa pihak. Tulisan di atas hanyalah pendapat saya pribadi untuk memenuhi tugas kampus mengenai konflik dalam suatu organisasi. Terima kasih atas waktu luang yang anda berikan untuk membaca pemikiran saya :)


Jumat, 27 Desember 2013

Perubahan dan Perkembangan Organisasi



A. Faktor-faktor Perubahan Organisasi
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya perubahan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
  • Faktor Ekstern

Adalah penyebab perubahan yang berasal dari luar, atau sering disebut lingkungan. Organisasi bersifat responsive terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, jarang sekali suatu organisasi melakukan perubahan besar tanpa adanya dorongan yang kuat dari lingkungannya. Artinya, perubahan yang besar itu terjadi karena lingkungan menuntut seperti itu. Beberapa penyebab perubahan organisasi yang termasuk faktor ekstern adalah perkembangan teknologi, faktor ekonomi dan peraturan pemerintah.
Perkembangan dan kemajuan teknologi juga merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan. Penggantian perlengkapan lama dengan perlengkapan baru yang lebih modern menyebabkan perubahan dalam berbagai hal, misalnya: prosedur kerja, kualitas dan kuantitas tenaga kerja, jenis bahan baku, jenis output yang dihasilkan, system penggajian yang diberlakukan yang memungkinkan jumlah bagian-bagian yang ada dikurangi atau hubungan pola kerja diubah karena adanya perlengkapan baru.
Perkembangan IPTEK terus berlanjut sehingga setiap saat ditemukan berbagai produk teknologi baru yang secara langsung atau tidak memaksa organisasi untuk melakukan perubahan. Organisasi yang tidak tanggap dan bersedia menyerap berbagai temuan teknologi tersebut akan tertinggal dan pada gilirannya tidak akan sanggup survive.
Contoh faktor eksternal:
  1. Politik.
  2. Hukum.
  3. Kebudayaan.
  4. Teknologi.
  5. SDA.
  6. Demografi.
  7. Sosiologi.

  • Faktor Intern

Adalah penyebab perubahan yang berasal dari dalam organisasi yang bersangkutan, yang dapat berasal dari berbagai sumber antara lain:
  1. problem hubungan antar anggota,
  2. problem dalam proses kerja sama,
  3. problem keuangan.

Hubungan antar anggota yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi. Dibedakan menjadi dua, yaitu: problem yang menyangkut hubungan atasan bawahan (hubungan yang bersifat vertikal), dan problem yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (hubungan yang bersifat horizontal).

Konflik Organisasi


A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
  1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
  2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
  3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
  4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
  5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
  6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
  7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).